RANGKUMAN ISD-MASYARAKAT DESA DAN KOTA
Pengertian Masyarakat
Masyarakat
adalah kelompok yang terorganisasi atau bisa juga masyarakat itu suatu kelompok
yang berpikir tentang dirinya sendiri yang berbeda dengan kelompok yang lain.
Oleh karena itu orang yang berjalan bersama-sama atau duduk bersama-sama yang
tidak terorganisasi bukanlah masyarakat. Kelompok yang tidak berpikir tentang
kelompoknya sebagai suatu kelompok bukanlah masyarakat. Berikut di bawah
ini adalah beberapa pengertian masyarakat dari beberapa ahli sosiologi dunia.
1. Menurut Selo
Sumardjan, masyarakat adalah orang-orang yang hidup
bersama dan menghasilkan kebudayaan.
2. Menurut Karl
Marx, masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu
ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan
antara
kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi.
3. Menurut Emile
Durkheim, masyarakat merupakan suau kenyataan objektif
pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya.
4. Menurut Paul
B. Horton & C. Hunt, masyarakat merupakan kumpulan
manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang
cukup
lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama
serta
melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan
manusia
tersebut.
5.
Menurut Znaniecki, masyarakat merupakan suatu sistem yang meliputi
unit
biofisik para individu yang bertempat tinggal pada suatu daerah
geografis
tertentu selama periiode waktu tertentu dari suatu generasi.
Dari berbagai
pendapat tersebut di atas maka W F Connell (1972, p. 68-69) menyimpulkan bahwa
masyarakat adalah :
(1) suatu
kelompok orang yang berpikir tentang diri mereka sendiri sebagai
kelompok yang berbeda, diorganisasi, sebagai kelompok yang
diorganisasi
secara tetap untuk waktu yang lama dalam rintang kehidupan
seseorang
secara terbuka dan bekerja pada daerah geografls tertentu.
(2) kelompok
orang yang mencari penghidupan secara berkelompok, sampai
turun temurun dan mensosialkan anggota anggotanya melalui pendidikan.
(3) suatu ke
orang yang mempunyai sistem kekerabatan yang terorganisasi
yang mengikat anggota-anggotanya secara bersama dalam keselurühan
yang
terorganisasi.
Syarat
– syarat Menjadi Masyarakat :
1. Berangotakan
minimal dua orang.
2. Anggotanya
sadar sebagai satu kesatuan.
3. Berhubungan
dalam waktu yang cukup lama yang menghasilkan manusia baru yang saling
berkomunikasi dan membuat aturan-aturan hubungan antar anggota masyarakat.
4. Menjadi
sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta keterkaitan satu sama
lain sebagai anggota masyarakat.
3. Pengertian
Masyarakat Kota
Masyarakat
perkotaan sering disebut Urban Community. Pengertian masyarakat kota lebih
ditekankan pada sifat kehidupannya serta ciri-ciri kehidupannya yang berbeda
dengan masyarakat pedesaan.
Ada beberapa
ciri yang menonjol pada masyarakat kota yaitu :
· Kehidupan
keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa.
· Orang
kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada
orang lain. Yang penting disini adalah manusia perorangan atau individu.
· Pembagian
kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas
yang nyata.
· Pembagian
waktu yang lebih teliti dan sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan
individu.
· Interaksi yang
terjadi lebih banyak terjadi berdasarkan pada faktor kepentingan dari pada
faktor pribadi.
TULISAN ISD :
MASYARAKAT PERKOTAAN DAN MASYARAKAT PEDESAAN
Slamet adalah
seorang karyawan sebuah perusahaan yang terletak di salah satu tempat di
Jakarta. Ia berasal dari desa. Sebagai seorang perantau, ia bisa dikatakan
sudah agak mapan. Ia bisa menyewa sebuah rumah. Pun pula ia bisa menyisihkan
sebagian pendapatannya untuk dikirimkan ke desa. Bahkan, pada waktu banyak
karyawan di-PHK karena tuntutan ekonomi pasar, ia masih bisa bernafas lega. Ia
tidak terkena PHK. Meskipun demikian, ia sendiri memahami dirinya belum sukses.
Cita-citanya untuk hidup berkecukupan, dirasanya belum tercapai.
Slamet “dipaksa”
oleh situasi untuk mencari penghidupan di kota. Orang tuanya, yang adalah
petani, tidak bisa “membuktikan” pada dirinya, bahwa pertanian menjanjikan
perbaikan hidup secara cepat dan nikmat. Memang, rumah orang tuanya yang dahulu
berdinding anyaman bambu perlahan-lahan bisa menjadi berdinding tembok. Akan
tetapi, itu membutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Ia
berpikir, bila ia merantau ke kota, pasti akan lain. Hal itu ia buktikan
sesudah di kota beberapa waktu. Ia bisa mengirim ke orang tuanya di desa
berbagai perlengkapan rumah tangga, yang baginya amat sulit diadakan jika ia
masih menjadi petani di situ.
Itulah sepenggal
fiktif orang desa yang merantau ke kota. Kisah senada, kemungkinan besar
teralami oleh para perantau dari desa yang berada di Jakarta (dan kota
lainnya), dengan perbedaan di sana-sini. Akan tetapi, upaya untuk memperbaiki
hidup (ekonomi) kiranya menjadi benang merah dari kisah-kisah itu.
Slamet (dan para
perantau lain) hanyalah korban dari sebuah kepincangan kebijakan pembangunan
ekonomi rakyat. Selama ini, pembangunan yang menunjang perekonomian lebih
digencarkan di perkotaan. Tak ayal lagi, orang-orang desa menoleh ke
kecermelangan kota. Ia juga sebuah korban dari kebijakan yang lebih
menitikberatkan pembangunan fisik dari pada mental. Ia juga korban dari
pandangan salah bahwa (orang) kota lebih bergengsi dari pada (orang) desa. Ia
juga hanyalah korban dari pandangan salah bahwa tani adalah pekerjaan yang
kotor. Dan akhirnya, ia hanyalah seorang manusia yang berusaha memaknai
hidupnya dengan cara yang menurutnya paling memungkinkan di tengah persaingan
hidup yang keras.
Bagaimanapun
Slamet adalah kisah sukses orang yang merantau ke kota. Akan tetapi di balik
kesuksesannya, ada kisah-kisah menyedihkan. Semua yang berangkat ke Jakarta
(kota) merindukan pekerjaan untuk menyambung hidup secara layak. Ternyata
Jakarta tidak mampu menjawab kerinduan semua, hanya sebagian saja. Banyak orang
(bisa para perantau dan bisa juga penduduk asli), yang entah karena dari
SDM-nya kurang, atau karena tak ada relasi personal, atau karena penyebab lain,
kalah dalam persaingan untuk memperebutkan pekerjaan terbatas yang ditawarkan
Jakarta. Akhirnya dengan terpaksa sekali, mereka menjadi gelandangan, anak
jalanan, perampok, pencopet, pemeras, pemalak dan sebagainya yang menjadi
pertanda adanya masalah sosial yang serius.
Slamet (pasti)
tidak menyadari bahwa kesuksesannya, secara tidak langsung turut memperparah
masalah sosial perkotaan. Ia tidak sadar bahwa dirinya telah menghilangkan
kesempatan satu penduduk asli untuk mendapatkan pekerjaan. Ia tidak menyadari
bahwa tanah pertanian yang ditinggalkannya, bila diupayakan dengan kerja keras
dan ulet, mampu memberikan penghidupan yang layak. Ia tidak menyadari bahwa
tani adalah pekerjaan yang juga mulia seperti pekerjaan-pekerjaan lainnya. Ia
tidak menyadari bahwa derajad orang desa sama dengan orang kota. Ia tidak
menyadari bahwa dirinya bisa sedikit mengurangi masalah sosial perkotaan yang
kian memprihatinkan. Ia tidak mampu menyadari itu semua, karena faktor-faktor
eksternal telah mengkondisikannya.
Dewasa ini,
Slamet-Slamet yang lain ingin menyusul Slamet yang sudah berhasil. Bila proses
urbanisasi ini berjalan terus, tidak ayal lagi, masalah sosial perkotaan dan
sekaligus juga masalah sosial pedesaan yang telah demikian besar, akan semakin
besar dan rumit. Kurbannya tiada lain adalah saudara-saudara kita sendiri,
yakni mereka yang tak mampu bersaing. (Tentu, amat disadari bahwa urbanisasi
hanyalah salah satu faktor dari banyak faktor yang menumbuhkan masalah sosial).
Pemerintah yang
salah satu fungsinya menyejahterakan seluruh rakyat, hendaknya membuat
kebijakan pembangunan secara seimbang, misalnya: antara yang fisik dengan yang
mental, antara perkotaan dan pedesaan. Tentu saja, dalam situasi sosial
sekarang yang sudah terlanjur dipenuhi dengan masalah-masalah sosial yang
pelik, keseimbangan pembangunan tersebut bukanlah sebuah hal yang mudah untuk
dilaksanakan. Pun pula tetap disadari, ada banyak juga masalah lain yang harus
ditangani. Akan tetapi, bila perimbangan pembangunan tidak dilakukan, bisa
diramalkan situasi sosial yang akan kita (dan anak cucu kita) hadapi di masa
mendatang.
Rasanya, semua
saja dari kita, –yang bukan unsur pemerintah– tidak bisa cuci tangan dan
melemparkan tanggung jawab pada pemerintah begitu saja dalam menyikapi masalah
ini. Oleh panggilan manusiawi sebagai makhluk sosial dan kewajiban sebagai
warga negara, kita pun hendaknya turut menyikapi masalah sosial secara dewasa
dengan cara dan kondisi kita masing-masing. Perlu diingat, mereka yang ada
dalam lingkaran masalah-masalah sosial adalah juga saudara-saudara kita.
Tidak ada komentar on "BAB 7"